
07 Apr Menelusuri Proses Kreatif di balik Kursi Kustom
Sebuah furnitur tak lahir begitu saja. Ia bermula dari gagasan, berkembang menjadi bentuk, lalu diwujudkan melalui tangan-tangan kreatif dan teliti. Kursi, sebagai elemen paling personal dalam ruang, bukan sekadar alas duduk. Ia mencerminkan sikap perancang, dan kepekaan terhadap fungsi serta keindahan sampai menjadi koleksi mengisi ruang. Langkah pertama dalam penciptaan diawali dengan konsep. Di sinilah sang konseptor, desainer menuangkan intuisi, membentuk garis, menentukan proporsi, hingga memilih karakter visual yang akan dibawa. Inspirasi bisa datang dari mana saja, arsitektur tradisional, kontur tubuh manusia, kontemporer dll, Sketsa menjadi sarana awal untuk mewujudkan yang belum nyata.
Setelah ide tergambar, fokus berpindah ke bahan. Dalam proses ini, pemilihan kayu menjadi titik krusial. Setiap potongan kayu menyimpan karakteristik serat dan warna. Tak hanya kayu, pelapis pun dipertimbangkan. Beludru lembut, linen kasar atau kulit sintetis berkualitas, semuanya dipilih bukan hanya karena tampilan, tetapi juga ketahanan, sentuhan. Proses teknis para pengrajin mulai membentuk rangka, memotong sesuai pola, menyambung, kontruksi dan menghaluskan. Di titik inilah kekayaan tradisi dan presisi modern bertemu. Teknik sambungan tak terlihat, bahkan sudut ergonomis menjadi hasil dari akumulasi pengetahuan yang diturunkan lintas generasi. Ketelitian menjadi syarat mutlak.
Masuk ke tahap penyempurnaan, permukaan diberi sentuhan akhir. Apakah ia akan tampil dengan finishing matte lembut, mengilap mewah atau justru membiarkan serat terbuka. Tiap keputusan mempengaruhi atmosfer visual dan emosi yang ditimbulkan. Setelah itu, pengecekan mutu dilakukan, memastikan tak ada cela yang lolos dari pengamatan.
Namun di balik semua itu, ada satu hal yang sering luput: narasi. Kursi bukan benda bisu. Ia membawa cerita—tentang siapa yang merancang, dari mana kayu berasal, bagaimana tangan-tangan lokal bekerja dengan cermat, dan untuk siapa ia diciptakan. Produk Shaf Jepara, misalnya, memadukan garis kontemporer dengan aksen keemasan lembut, mencerminkan elegansi masa kini yang berakar dari warisan Jepara.
Melalui proses panjang tersebut, kursi menjadi lebih dari objek. Ia menjelma menjadi karya, hasil dari harmoni antara estetika, fungsi, serta nilai budaya. Di dunia yang serba instan, proses ini mengajarkan kita bahwa keindahan memerlukan waktu. Bahwa benda sehari-hari, jika diciptakan dengan hati, bisa menjadi seni.